Silfester Matutina, Bayangan di Tengah Jakarta

by -45 Views

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Silfester Matutina di Bandung, Jawa Barat, Jumat (9/2/2024).

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, kota yang tak pernah tidur,
nama Silfester Matutina mungkin jarang terdengar. Namun, kisah hidupnya mencerminkan wajah lain ibu kota—sebuah kisah tentang keteguhan, kehilangan, dan pencarian jati diri di antara bayang-bayang gedung pencakar langit.

Langkah Awal di Ibu Kota

Silfester datang ke Jakarta dari Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010.
Ia berangkat dengan harapan sederhana: mencari pekerjaan yang layak untuk membantu keluarganya di kampung.
Namun, realitas ibu kota tidak seindah yang ia bayangkan. Setelah beberapa bulan, ia bekerja serabutan—menjadi satpam, juru parkir, hingga ojek daring.
Dalam setiap pekerjaan itu, Silfester melihat ketimpangan sosial yang begitu nyata antara kemewahan kota dan kerasnya kehidupan jalanan.

“Jakarta itu seperti mimpi. Indah dari jauh, tapi kalau kamu sudah di dalamnya, kamu sadar betapa berat hidup di sini,” ujarnya suatu sore di kawasan Tanah Abang.

Bayangan yang Tak Pernah Hilang

Julukan “Bayangan” ia dapat dari kawan-kawan sesama pekerja malam.
Silfester dikenal sering menolong pedagang kecil yang kesulitan membayar sewa lapak,
atau menjaga barang mereka saat patroli keamanan lewat. Ia bergerak diam-diam, tanpa banyak bicara, seperti bayangan di antara lampu-lampu neon yang berkedip di sepanjang jalan ibu kota.

Ia menyaksikan bagaimana para pekerja informal seringkali menjadi korban kebijakan tanpa suara.
Menurutnya, mereka adalah bagian penting dari denyut ekonomi Jakarta,
namun jarang mendapat perlindungan sosial yang layak.
“Kota ini dibangun di atas keringat orang-orang kecil,” katanya pelan,
“tapi nama mereka tak pernah tercatat.”

Dari Lorong Gelap ke Cahaya Publik

Kehidupan Silfester mulai berubah ketika ia bergabung dengan komunitas sosial
yang berfokus pada pemberdayaan warga miskin kota.
Komunitas ini, yang bekerja sama dengan
LSM dan pemerintah daerah,
memberi pelatihan keterampilan serta akses pendidikan untuk anak-anak jalanan.

Ia menjadi relawan, mengajar membaca di kolong jembatan dan mengumpulkan buku bekas dari para dermawan.
Perubahannya menginspirasi banyak orang. “Saya bukan pahlawan,” ucapnya, “saya hanya ingin kota ini melihat bahwa kita semua berhak punya tempat.”

Kisah di Tengah Kontras Ibu Kota

Jakarta terus bergerak. Sementara gedung baru berdiri dan jalan tol bertambah, kehidupan Silfester berjalan dengan ritme yang sama: penuh perjuangan.
Namun kini ia bukan lagi sekadar bayangan.
Ia menjadi simbol harapan bagi banyak orang yang hidup di pinggir arus modernitas kota.

Dalam sebuah wawancara di radio komunitas, Silfester menyampaikan pesan yang menyentuh hati:
“Kalau Jakarta ingin jadi kota yang benar-benar maju, jangan ukur dari gedung tinggi atau jalan tol,
tapi dari bagaimana ia memperlakukan orang-orang kecilnya.”

Jejak yang Tertinggal

Kini, Silfester mengelola sebuah rumah baca kecil di kawasan Kemayoran.
Ia menamai tempat itu Bayangan Jakarta — simbol perjalanan hidupnya yang penuh liku.
Setiap malam, anak-anak datang membaca dan mendengarkan kisah perjuangan hidup dari pria yang dulu hanya dikenal sebagai sosok samar.

Kisah Silfester Matutina menjadi potret nyata tentang ketabahan manusia di tengah ketimpangan sosial.
Ia bukan pejabat, bukan pengusaha, tapi dedikasinya membuat banyak orang percaya bahwa perubahan besar bisa lahir dari seseorang yang sederhana.

BRIMO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *